Pemenuhan Hak Membawa Perdamaian (menurut ensiklik Pacem In Terris)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan yang sedalam-dalamya kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat kesehatan dan penerangan budi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pastor pembina yang selalu membantu dalam kondisi apapun. Bagi saudara, kerabat dan orang-orang yang selalu membantu. Bagi teman-teman seangkatan Rhetorika yang telah membantu dengan caranya masing-masing dan kepada semua pihak yang telah memberikan keyakinan dan semangat dalam penyelesaian karya ini.

Dalam kutipan dokumen ‘Pacem In Terris dikatakan:

“Akan tetapi yang pertama-tama perlu dibahas ialah hak-hak manusia. Ia berhak hidup. Ia berhak pula atas keutuhan badannya dan atas upaya-upaya yang diperlukan untuk pengembangan hidup yang sewajarnya ...”

Kutipan ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap manusia berhak untuk hidup. Hal ini sungguh sangat dirasa oleh para bapa konsili sebagai suatu permasalahan yang mendasar dalam masyarakat untuk menciptakan dunia yang damai seperti yang terungkap dan termuat dalam ensiklik ‘Pacem In Terris’.

Saat ini, manusia hidup dalam dunia yang serba modern. Berbagai kepentingan dan kebutuhan termasuk di dalamnya. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia rela melakukan apa saja, bahkan hingga tidak perduli lagi terhadap orang lain. Kondisi ini juga membangun sifat manusia yang egois dan tidak peduli lagi kepada sesama sehingga hidup manusia, yang sebenarnya merupakan hak yang sangat mendasar, saat ini bisa dikatakan sudah hampir tak bernilai lagi. Dalam situasi yang seperti ini, hidup yang bahagia menjadi dambaan setiap orang, terlebih bagi yang merasa hidupnya tertindas atau dipasung.

Sebenarnya, hidup yang damai bukan hanya dambaan saja. Ini dapat diwujudkan asal setiap orang mau merubah cara pandangnya terhadap sesama di sekelilingnya sebagai kawan hidup karena manusia adalah makhluk sosial.

Yang jadi permasalahannya sekarang adalah; apakah manusia mampu dan mau untuk hiudp toleran dengan orang lain sementara kehidupan yang modern saat ini menuntut perjuangan hidup yang jauh lebih keras?

Penyusunan karya ini dalam rangka pemenuhan tugas pelajaran Jurnalistik tahun ajaran 2009/2010.

Penulis sungguh menyadari bahwa dalam proses pembuatan dan penyelesaian karya ini begitu banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi. Tapi, berkat Tuhan dan lewat bantuan orang-orang di sekitar sehingga semua kesulitan dan tantangan menjadi pelajaran yang sangat berguna dan sangat menunjang dalam penyelesaian karya ini.

Hidup memang membutuhkan perjuangan. Yang dinilai bukanlah apa yang kita capai, melainkan dari mana kita bertolak dan usaha yang telah kita lakukan. Dalam usaha itu, kesalahan merupakan hal wajar yang juga dilakukan oleh manusia yang tidak sempurnya.

Penulis sungguh menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis masih mengharapkan kritik, saran dan sumbangsih yang membangun dari para pembaca demi lengkapnya karya tulis ini.

Akhir kata;

“Tiada gading yang tak retak”

Semoga karya ini dapat berguna dalam kehidupan dan pengembangan serta usaha-usaha dalam membangun dunia yang damai, penuh bahagia dan cinta.

Kakaskasen, Maret 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................... iii

Pendahuluan.......................................................................................................... 1

a. Latar Belakang Permasalahan.................................................................. 1

b. Pembahasan Masalah.............................................................................. 2

c. Rumusan Masalah.................................................................................... 2

d. Tujuan Penulisan...................................................................................... 2

e. Sistematika Penulisan............................................................................... 2

BAB I Mengenal Dokumen PACEM IN TERRIS.................................................. 3

1. Latar Belakang Historis Lahirnya Pacem In Terris......................................... 3

1.1. Peristiwa yang Mendahului.................................................................... 3

1.2. Situasi Gereja dan Masyarakat.............................................................. 4

1.2.1. Gereja dan Perang Dunia II........................................................... 4

1.2.2. Perspektif Peran Gereja dalam Perang Dunia II............................. 4

1.3. Dorongan Paus Sebagai Tanggapan Gereja........................................... 6

1.3.1. Gereja dan Masyarakat................................................................. 6

1.3.2. Perdamaian dengan Pondasi yang Kokoh....................................... 6

2. Lahirnya Dokumen ‘Pacem In Terris’........................................................... 8

2.1. Konteks Lahirnya Pacem In Terris........................................................ 8

2.2. Sifat Masalah dari Ensiklik.................................................................... 9

2.3. Maksud dan Tujuan.............................................................................. 9

3. Kesimpulan................................................................................................. 11

BAB II Hak Untuk Hidup Menurut PACEM IN TERRIS...................................... 13

2.1. Hak Hidup dalam Hubungan dengan Masyarakat Dunia

dalam Pacem In Terris.............................................................................. 13

2.1.1. Hak-hak yang Berkaitan dengan Kehidupan Ekonomi........................ 13

2.1.2. Hak-hak Politik................................................................................. 14

2.1.3. Hak-hak atas Nilai-nilai Susila dan Kebudayaan................................. 15

2.1.4. Hak untuk Kebebasan Status Hidup................................................... 16

2.1.5. Hak untuk Menghormati Allah............................................................ 17

2.2. Antara Hak dan Kewajiban dalam Satu Pribadi......................................... 17

2.2.1. Kewajiban dalam Kerja Sama........................................................... 18

2.2.2. Rasa Tanggung Jawab....................................................................... 19

2.2.3. Bersama dalam Kebenaran, Keadilan, Cinta Kasih dan

Kebebasan......................................................................................... 20

2.3. Kekuasaan Umum Terhadap Hak............................................................. 22

2.3.1. Fungsi Kekuasaan Negara................................................................. 23

2.3.1.1. Memajukan Hak Pribadi Manusia............................................... 24

2.3.1.2 .Mendukung Mutu Hidup yang Layak.......................................... 25

2.3.2. Tata Hukum dan Kesadaran Moral.................................................... 29

2.4. Tata-tertib dalam Hubungan-Hubungan dengan Masyarakat

Dunia....................................................................................................... 30

2.4.1. Manusia Adalah Satu Oknum............................................................. 30

2.4.2. Manusia Makhluk Sosial.................................................................... 32

BAB III Sumbangan PACEM IN TERRIS bagi Kehidupan Dewasa Ini.................. 35

3.1 Kebahagiaan dan Cinta Tercipta Apabila Ada Perdamaian......................... 35

3.2 Hukum sebagai Sarana Terciptanya Perdamaian......................................... 39

3.3 Diperlukan Kerja Sama antar Umat Manusia.............................................. 40

Penutup ................................................................................................................ 42

a. Kesimpulan............................................................................................. 42

b. Rekomendasi .......................................................................................... 43

Daftar Pustaka....................................................................................................... 44


PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Penulis mengangkat permasalahan tentang hak untuk hidup bagi setiap orang. Maksud dari penulis mengangkat masalah ini untuk mengetahui sejauh mana peran manusia dalam menggunakan kehidupan dengan baik. Apakah manusia semata-mata hanya mempermainkan hidup.

Seperti diketahui, sejak bergulirnya isu pelanggaran HAM berat baik secara individual maupun kelembagaan terutama di Indonesia, muncul kesan di masyarakat internasional bahwa Indonesia kurang peka terhadap masalah untuk menjaga keutuhan hidup yang telah diberikan oleh Tuhan sendiri.

Sajian yang dituangkan oleh penulis ini dalam bentuk yang cukup rinci juga terkandung di dalamnya maksud untuk ikut pula menyemarakkan bagaimana gereja menanggapi masalah tentang kehidupan tersebut. Itu ditanggapi oleh ajaran sosial gereja yakni Pacem In Terris.

Paper ini dibuat untuk menjelaskan pula bahwa tiap orang berhak atas kehidupan yang layak, kebebasan untuk bergerak (...). Sebagai bukti bahwa di dunia zaman sekarang ini telah terjadi banyak masalah yang mengancam kelangsungan hidup setiap orang dalam bentuk tindakan-tindakan kriminal yang terjadi dalam masyarakat saat ini seperti perang antar negara seperti yang terjadi antara Irak dan Palestina, terjadi juga perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan, dsb. Ini semua masalah-masalah yang patut dibicarakan saat ini.

Hak asasi manusia terutama hak hidup menjadi bahasan penting setelah terjadinya Perang Dunia II pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Karena masalah-masalah inilah penulis mengangkat tema tentang kehidupan. Berbicara mengenai kehidupan itu sangat luas. Tetapi, mengenai hidup dan mati itu hanya di tangan Tuhan. Tetapi intinya, bagaimana manusia mengusahakan hidup itu menjadi berarti baginya dalam hidup ini.

Pembatasan Masalah

Dalam paper ini, penulis membatasi masalah hanya pada hak-hak asasi manusia terlebih khusus hak untuk hidup menurut ajaran sosial gereja, Pacem In Terris. Penulis akan mengulas secara rinci tentang hak hidup tersebut.

Rumusan Masalah

Pada Bab I, penulis membahas tentang latar belakang historis lahirnya ‘Pacem In Terris’. Di dalamnya menyangkut peristiwa yang mendahului sebelum terbentuknya Pacem In Terris, situasi masyarakat pada saat itu, dan dorongan paus untuk membuat ensiklik tersebut sebagai tanggapan gereja. Pada Bab II, penulis membahas tentang pandangan ‘Pacem In Terris’ mengenai Hak Untuk Hidup. Pada Bab III, penulis mengulas tentang sumbangan ‘Pacem In Terris’ bagi kehidupan dewasa ini.

Tujuan Penulisan

· Menjelaskan Latar Belakang ‘Pacem In Terris’.

· Menjelaskan pandangan ‘Pacem In Terris’ mengenai Hak Untuk Hidup.

· Menjelaskan hubungan ‘Pacem In Terris’ bagi kehidupan dewasa ini.

Sistematika Penulisan

Bab I : Pacem In Terris.

Bab I : Hak untuk hidup menurut Pacem In Terris.

Bab III : Sumbangan Pacem In Terris bagi kehidupan dewasa ini.

BAB I

Mengenal Dokumen PACEM IN TERRIS

1. Latar Belakang Historis Lahirnya Pacem In Terris

1.1. Peristiwa yang Mendahului[1]

Dua tahun sebelum Pacem In Terris (1961), dibangun Tembok Berlin untuk memisahkan kedua bagian Jerman dan menciptakan pertentangan serta pola hidup yang berbeda karena saling curiga dan tidak percaya. Tembok itu menjelajahi seluruh kemanusiaan dan menerobos ke dalam hati dan budi manusia yang menciptakan perpecahan yang nampaknya berlangsung lama.

Lebih lagi, enam bulan sebelum Pacem In Terris diterbitkan dan tepat pada waktu Konsili Vatikan II sedang dimulai di Roma, perang nuklir hampir meletus akibat Krisis Peluru Kendali Kuba. Jalan menuju perdamaian, keadilan dan kemerdekaan sepertinya tertutup. Banyak orang percaya bahwa manusia telah dikutuk untuk hidup tak menentu dalam kondisi berbahaya akibat “perang dingin”, dengan harapan tak terjadi serangan yang akan memicu perang terburuk dalam sejarah hidup manusia. Ini dikhawatirkan karena tersedianya gudang senjata yang membahayakan masa depan umat manusia.

Paus Yohanes XXIII tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa perdamaian itu mustahil. Dengan ensikliknya, damai dengan segala sesuatu yang dituntut untuk mencapainya – datang sambil mengetuk kedua sisi tembok tersebut dan tembok-tembok pemisah lain. Ensiklik itu berbicara kepada semua orang bahwa mereka menjadi bagian dari keluarga manusia dan memancarkan terang atas kehendak bersama bangsa-bangsa di mana pun juga mereka berada untuk hidup aman, adil dan memiliki harapan di masa yang akan datang.

1.2. Situasi Gereja dan Masyarakat

1.2.1. Gereja dan Perang Dunia II.

Pada Perang Dunia II, Pius XII meneruskan ‘tradisi’ menyampaikan ajaran sosial Gereja dari para Paus pendahulunya melalui tujuh Pidato Radio dalam rentang waktu 1939-1945.[2] Pidato itu disusun dalam naskah-naskah yang bukan merupakan suatu elaborasi teologis yang padat, tetapi lebih merupakan pengulangan formulasi-formulasi baku yang umumnya disampaikan pada momentum seperti Natal dengan menambah sejumlah tema serus seperti perdamaian, perlunya hukum, perintah cinta kasih, serta sejumlah kata-kata penghiburan atau peneguhan di tengah situasi tragis akibat Perang Dunia II di masa itu.

Ini tidak menimbulkan suatu kontroversi walaupun di dalam pokok-pokok ini terselip hal-hal atau ajaran yang ingin disampaikan Gereja pada dunia yang sedang dilanda malapetaka perang. Pidato itu disampaikan dengan amat hati-hati.

Perang ini menyebabkan ekspansi yang besar terhadap negara mayoritas umat Katolik, seperti Perancis-Jerman, Polandia-Jerman, Italia-Perancis yang juga pernah mengalami konflik politik dengan Vatikan yang nantinya mengambil posisi tidak memihak (netral). Perang ini menjadi lebih hebat ketika di Pasifik pecah perang di mana Cina bersekutu dengan negara-negara Barat melawan Jepang dan pertarungan antara Jerman (Nazi) dengan Rusia yang tidak jelas apa hasilnya bagi Gereja Katolik.

1.2.2. Perspektif Peran Gereja dalam Perang Dunia II

Gereja sebagai komunitas universal yang memberi kontribusi bagi perdamaian mempunyai peran lewat pesan yang disampaikan Pius XII dalam Pesan Natal 1941:

“Kami mencintai, dan dalam hal ini biarkan Allah yang menjadi saksinya. Kami mencintai semua dengan cinta yang sama, tanpa kecuali dan bukan sekadar supaya kelihatan tidak partisan. Kami amat memperhatikan hal tersebut”.[3]

Dalam pandangan ideologi dan propaganda Nazi, pernyataan ini merupakan pernyataan pribadi tentang kasih Kristiani yang universal sebagai nilai dasar dari kekristenan dan tidak memperlihatkan sikap berpihak serta terhindar dari konsekuensi dalam perang meskipun masih ada salah tafsir dari si penafsir sendiri berdasarkan perspektifnya. Pernyataan ini merupakan suatu tindakan yang tepat dalam masalah internasional ini. Perang ini tidak sederhana saja karena ada pihak yang mempraktikan genosida dan menolak semua nilai-nilai manusiawi dari kelompok masyarakat yang ingin dimusnahkannya. Ini semua sangat diperdebatkan dalam perspektif moral karena berhubungan dengan kasih universal dan netralitas yang diancam bahaya.

Perang yang sudah tidak terkendali serta tanpa batas ini membuka mulut Pius XII lagi dalam pidatonya yang disampaikan dua kali pada tahun 1942 dan 1943. Pada waktu itu manusia memasuki periode akhir zaman yang ditandai oleh kemerosotan moral dan kehancuran nurani. Ditambah lagi Pius XII ‘dikepung’ situasi kemerosotaan nurani setelah Roma dan Italia diduduki Jerman. Dan pada waktu itu juga sepertinya nubuat Kebijaksanaan tampak benar: semua dibelenggu oleh rantai kegelapan[4].

Dalam ketegangannya, Pius XII menuntut diadakannya kesepakatan serta perundingan agar kerja sama bermartabat dapat dijalankan dalam hubungan antarbangsa terutama bagi upaya restorasi dan pemulihan sesudah peperangan. Ini disebabkan karena hasil kesepakatan Churchill dan Roosevelt yang menuntut penyerahan diri tanpa syarat kepada pihak yang kalah dalam pertemuan di Casablanca, Januari 1943 dinilai oleh Pius XII seagai perdamaian tanpa dasar yang kokoh. Menurutnya perdamaian bukanlah suatu perhitungan matematis dan tidak dapat dicapai melalui kekuatan senjata melainkan pencapaian dari suatu proses hukum dan moral yang harus diupayakan dengan sungguh-sungguh. Pius XII mencoba mengombinasikan moralisme dan realisme yang merupakan ciri ajaran perang yang adil dimana perang harus dijalankan atas dasar sebab yang benar, maksud yang baik, dimaklumkan oleh otoritas yang sah, dan bertujuan mewujudkan perdamaian yang langgeng. Pius juga menjelaskan kesadaran moral politis yang baru, yang berkembang menjelang berakhirnya Perang Dunia II, bahwa peperangan menindas hak-hak masyarakat. Kesadaran moral baru itulah yang kemudian dirumuskan dalam Declaration of Universal Human Rights (10 Desember 1948).

1.3. Adanya Dorongan Paus sebagai Tanggapan Gereja

1.3. 1. Gereja dan Demokrasi

Seputar masa kepausan Pius XII, berkembang semacam perasaan dalam masyarakat Eropa bahwa ada sesuatu yang salah secara mendasar dalam pembentukan kekuatan yang mengarahkan sejarah Eropa sampai saat itu yang mengakibatkan interpretasi negatif tentang budaya modern. Perasaan ini mendorong kaum intelektual dan aktivis kepada pilihan, yakni (1) perombakan tatanan ekonomi kapitalis dengan jaminan legal dan undang-undang yang menjamin kebebasan pribadi dan kekuasaan negara yang dibatasi serta melindungi individualisme, ;atau (2) mendorong mereka kembali ke nilai-nilai Kristiani.[5] Pilihan ini menimbulkan tanggapan yang pasti dari Vatikan.

Timbul masalah pertarungan politik setelah Perang Dunia II di Eropa yang terjadi antara Kristen Demokrat dan kaum Komunis (anti agama) yang bekerja sama dengan kaum sekuler sosialis. Tetapi setelah Perang Dunia II, Kristen Demokrat sudah merupakan kombinasi antara tatanan konstitusional, pengembangan serta pemajuan kesejahteraan umum, serta penekanan model tradisional dari keluarga dan kehidupan ekonomi yang berbasis pertanian serta bisnis keluarga. Masalah ini menjadi masalah besar terutama setelah pembentukan NATO. Hal itu menjadi sangat jelas di Jerman di mana Jerman Timur berada di bawah Komunis dan Jerman Barat di bawah Kristen Demokrat.

Kristen Demokrat memainkan peranan penting dalam sejumlah hal yang menentukan seperti rekonsiliasi Perancis-Jerman dan pembentukan kerangka kerja kelembagaan yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai Uni Eropa. Dalam mengupayakan hal tersebut Kristen Domokrat mengaacu kepada elemen-elemen internasional dari tradisi sosial Katolik. Upaya tersebut berlangsung selama masa pontifikat Pius XII terutama antara tahun 1945-1958 ketika Perjanjian Roma ditandatangani dan Pius XII sendiri mangkat.

Unsur-unsur perubahan ini disinggung kembali dalam Pesan Natal Pius XII teristimewa Pesan Natal tahun 1944, yang bertema Demokrasi Palsu dan Sejati yang menjelaskan tentang demokrasi dalam bentuk republik dan monarki dan pembedaan antara rakyat dan massa di mana rakyat bergerak dengan energi dan kekuatannya sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya, sedangkan massa digerakkan oleh pihak lain dari luar dan siap dieksploitasi. Berangkat dari ini, Pius dalam Pesan Natal 1944 memandang bahwa massa adalah musuh utama demokrasi serta cita-cita kebebasan dan kesederajatan. Tetapi dia juga tidak menyetujui pemaksaan kesamaan atas nama demokrasi atau pemaksaan dari pihak massa. Menurut dia, negara domokrasi diberi kewenangan untuk memerintah dengan otoritas yang nyata dan efektif. Untuk itu parlemen atau wakil rakyat haruslah sekolompaok orang yang berkarakter kuat dan kokoh secara spiritual serta menyadari diri sebagi wakil selurh rakyat dan bukan pelakasana mandat dari massa. Kegiatan penetapan hukum dan undang-undang oleh legislator harus sejalan dengan tatanan absolut Sang Pencipta dan ditempatkan dalam cahaya baru berkat wahyu Injil.

Pandangan Pius XII tentang demokrasi dalam Pesan Natal 1944 merupakan langkah penting yang kemudian diteruskan dalam Pacem In Terris dari Yohanes XXIII.

1.3. 2. Perdamaian dengan Pondasi yang Kokoh.

Dalam hal pastoralnya, Paus Yohanes XIII sangat bersemangat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa betapa mendesaknya upaya membangun perdamaian di atas pondasi manusiawi, dan betapa Gereja Katolik ingin ambil bagian dalam tugas yang menjadi kepedulian seluruh umat manusia ini. Dengan ajarannya yang jelas dan meyakinkan, Paus Yohanes XXIII menyapa “semua orang yang berkehendak baik”, dengan mengatakan bahwa mutlak perlulah untuk menciptakan perdamaian, dan hal ini tak mungkin tercapai kecuali bila diupayakan dengan menghormati Hak Asasi Manusia, dan dilakukan dalam kebenaran, keadilan, dan kebebasan[6].

2. Lahirnya Dokumen Pacem In Terris

2.1. Konteks Pacem In terris[7]

Dalam situasi perang, Yohanes XXIII menyumbangkan ajaran mengenai analisis atas dunia dengan konflik-konfliknya dan atas harapan-harapannya. Meskipun ajarannya dalam ensiklik ini konsisten dengan ensiklik sebelumnya yang dikeluarkannya, namun gaya dan cara presentasi Pacem In Terris terbilang baru.[8] karena tidak menyimpulakan ensiklik-ensiklik sebelumnya. Intinya, Pacem In Terris memiliki gaya yang lebih kontemporer meskipun isinya masih bercorak tradisional. Inilah ensiklik pertama yang ditujukan untuk semua orang yang berkehendak baik dan untuk semua orang di luar gereja katolik.

‘Pacem In Terris’ adalah kalimat Latin yang berarti ‘damai di bumi’ atau perdamaian dunia’. Maksud dari ensiklik ‘Pacem In Terris’ adalah mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan.[9]

Ensiklik ini pertama kali diterbitkan di Roma, di Basilika St. Petrus, pada hari Kamis Putih, tanggal 11 April 1963, tahun kelima masa kepausan Paus Yohanes XXIII. ‘Pacem in Terris’ merupakan bagian dari suatu rangkaian dokumen yang panjang perihal perdamaian yang ditulis para Paus sepanjang abad XX. Ada tradisi yang cukup lama yang mengulas tentang pokok pembicaraan tentang perdamaian. Ini berarti, abad XX yang baru saja berlalu ditandai dengan ketidakdamaian, sehingga pemimpin rohani menyerukan kebutuhan perdamaian abad tersebut. Dunia mengesankan siap menjadi sasaran pesan perdamaian.

Dalam konteks situasi yang mengancam dunia tersebut, ajaran Yohanes XXIII menyumbangkan suatu analisis atas dunia, atas konflik-konfliknya dan atas harapan-harapannya. Kendati ensiklik ini konsisten dengna ensiklik sosial sebelumnya, namun gaya dan cara presentasinya terbilang baru. Pendeknya, ‘Pacem In Terris’ memiliki gaya yang lebih kontemporer, meski isi dan metodologinya terbilang tradisional. Inilah ensiklik pertama yang ditujukan kepada semua orang yang berkehendak baik dan bukan hanya diperuntukkan bagi komunitas katolik.[10]

2.2. Sifat Masalah dalam Ensiklik dan Hubungannya

Dalam ensiklik Pacem In Terris (1963) dibahas masalah-masalah yang pada pokoknya lebih bersifat politis sebagai pusat dan bukan kemasyarakatan. Dalam pidato paus Yohanes XXIII, dikatakan bahwa ensiklik Pacem In Terris memiliki hubungan dengan Mater et Magistra yang kedua-duanya berisi tentang ajaran paus mengenai perdamaian[11], mulai dari Leo XIII sampai dengan Pius XII[12]. Dengan adanya ini, Paus mulai menguraikan ajaran gereja tentang hak-hak asasi manusia yang sebenarnya memiliki maksud utama yaitu mengenai hubungan antara negara-negara. Lewat ini Paus menunjukkan keterbukaannya agar dapat menjadi contoh bagi gereja dan politik. Ensiklik ini sangat berbeda dengan ensiklik-ensiklik sosial yang mendahului karena memiliki metode, topik, dan sikap gereja dalam perihal sosial yang lain untuk mencapai keinginan gereja yaitu berdialog dengan dunia.

2.3. Maksud dan Tujuan[13]

Dalam ‘Pacem In Terris’ tertuang berbagai pemikiran yang inspiratif yang dapat dikelompokan dalam dua kategori:

1. katagori yang sesuai dengan ajaran tradisional gereja;

2. kategori yang bersifat orisinal dan personal;

Yohanes XIII mendasarkan ensikliknya pada ajaran gereja dalam perkara sosial, khususnya teks-teks pendahulunya, sperti Pius XII dan Leo XIII. Selain itu, ‘Pacem In Terris’ memperlihatkan gagasan original dan personal Yohanes XXIII. Paus mengungkapkan dalam sepanjang ensiklik seluruh rasa simpatik dan sikap terbuka pihak gereja katolik terhadap semua cita-cita dunia modern, yang dapat ditaruh di bawah judul tanda-tanda zaman.

Yohanes XXIII tidak hendak berpolitik. Tidak pula mengecam. Manakala ia berbicara tentang peperangan, ia tidak membuat satu kasus untuk mengetahui apakah parang dapat dibenarkan sehingga orang wajib melakukannya. Sebaliknya, ia lebih suka pada sesuatu yang lain, yaitu; berangkat dari perdamaian, kerinduan yang terdalam dari insan segala zaman. Ensiklik ini dengan demikian merupakan seruan perdamaian, sebuah pidato demi perdamaian, sebuah pekik untuk mulai membangun perdamaian. Kesigapan Yohanes XXIII sangat jelas berkenaan dengan arahan pastoral; lebih khusus lagi dalam bagian tentang hubungan antara orang katolik dan non katolik dalam aksi sosial.

‘Pacem In Terris’ tetap tidak dapat dirubah, tidak dapat tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan keadaan konkret kehidupan. Menindaklanjuti refleksi ini, perlu diterapkan pertama-tama hubungan antar bangsa. Yohanes XXIII melihat, bahwa suatu kedekatan atau pertemuan kata praksis, yang kemarin dianggap tidak baik atau tidak subur, sebaliknya hari ini dapat terjadi dan mungkin juga besok. Perdamaian adalah masalah intern antar bangsa, khususnya perdamaian dengan ideologi-ideologi dan partai-parti politik marxistis. Perdamaian bukanlah suatu wajah saleh, mudah untuk dilaksanakan, melainkan suatu bangunan yang sulit hingga lingkungan rasional yang paling sulit, yakni hubungan-hubungan politik intern bangsa. Ensiklik ini memfokuskan perhatian pada tiga tema, yakni hak-hak asasi manusia, pelucutan senjata, dan lembaga-lembaga internasional. Tetapi selain tiga tema tersebut, terdapat pokok pikiran yang menarik seperti: keadilan sebagai dasar bagi perdamaian, kebebasan, sikap baru terhadap komunisme.

Ensiklik ini secara umum ditujukan kepada para Patriark yang disapa dengan hormat, Uskup Perdana, Uskup Agung, Uskup dan Ordinaris lainnya yang hidup dalam damai dan persekutuan dengan Takhta Apostolik, kepada Klerus dan umat beriman di seluruh dunia, dan kepada semua orang yang beritekad baik.

Masalah-masalah pokok yang diangkat dalam ensiklik Pacem In Terris adalah sebagai berikut:

· Penataan Allah, Kekacauan Dunia (art 1-10)

· Hak-hak Manusia (art 11-27)

· Kewajiban-kewajiban Manusia (art 28-35)

· Tata Susila (art 36-38)

· Ciri-ciri Masyarakat Modern (art 39-45)

· Asalmula Kewenangan Negara (art 46-52)

· Tujuan Kewenangan Negara (art 53-61)

· Negara dan Hak-hak Manusiawi (art 62-66)

· Struktur-struktur Negara (art 80-93)

· Masalah-masalah Negara (art 94-108)

· Perlombaan Senjata (art 109-119)

· Mempertahankan Kebebasan (art 120-129)

· Kerjasama demi Kesejahteraan Semesta (art 130-141)

· Perserikatan Bangsa-bangsa (art 142-145)

· Komitmen Kristiani terhadap Kemajuan Manusiawi (art 146-156)

· Rangka Kerjasama Kristiani (art 157-160)

· Kadar Tantangan-tantangan (art 161-164)

· Mencari Damai yang Sejati (art 165-173)

Tujuan ensiklik ‘Pacem In Terris’ tertuang dalam artikel no. 172;

“Demikianlah saudara-saudari terkasih, dengan keinginan sepenuh hati, supaya turunlah damai atas kawanan yang dipercayakan kepada penggembalaan anda, demi kesejahteraan khas mereka yang paling jelata dan paling membutuhkan bantuan serta pembelaan, penuh kasih dalam Tuhan kami sampaikan kepada anda, para imam diosesan maupun religius, para religius pria dan wanita, segenap umat beriman khususnya mreka yang sepenuh hati mematuhi anjuran-anjuran kami ini berkat apostolik kami. Dan bagi semua orang yang bertekad baik, dan kami sapa juga melalui Ensiklik ini, kami mohonkan dari Allah kesehatan dan kesejahteraan.”

3. Kesimpulan

Pacem In Terris, yang berarti ‘damai di bumi’, merupakan ensiklik yang dibuat untuk mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan. Ensiklik ini dibuat oleh Paus Yohanes XXIII dan diterbitkan di Roma, Basilika St. Petrus, pada hari Kamis Putih, tanggal 11 April 1963 bertepatan dengan tahun kelima masa kepausan dari Paus Yohanes XXIII. ‘Pacem In Terris’ merupakan hasil dari suatu rangkaian yang mempunyai perihal yang panjang mengenai perdamaian. Ensiklik yang dibuat oleh Paus Yohanes XXIII ini menyumbangkan suatu analisis atas dunia yang di dalamnya terdapat berbagai macam konflik hidup. Yohanes XXIII juga mau memberikan harapan-harapan yang lebih baik untuk mencapai perdamaian. Dalam ensiklik ini disinggung tentang hubungan manusia dengan hak hidupnya. Pacem In Terris memberikan pemikiran inspiratif tentang hak hidup dari manusia di mana manusia harus melihat hak hidupnya sendiri dan hubunganya dengan masyarakat dunia.

BAB II

Hak Untuk Hidup menurut PACEM IN TERRIS

2.1 Hak Hidup dalam Hubungan dengan Masyarakat Dunia dalam Pacem In Terris

Sekelompok orang yang memiliki visi yang sama mengenai dunia, pemahaman yang sama mengenai hidup, mengenai hubungan-hubungannya dengan alam dan kehidupan di alam baka, dan yang mampu menciptakan pranata sosial dan pokitik sedemikian rupa sehinggga kehidupan keluarga, masyarkat dan budaya dapat mmenjadi pengejawantahan diri mereka yang hidup – kelompok semacam itu melahirkan suatu peradaban yang khas.

Semua orang sepakat bahwa terdapat “hubungan sosial” di antara orang perorangan, dan bahwa oleh karena itu perlu kerja sama antara satu dengan yang lainnya, untuk berkarya secara bersama-sama, untuk “berusaha dalam upaya propaganda dan berjuang dalam solidaritas”, dan mengarahkan kecenderungan alamiah untuk kelompok demi pegabdian kepada kehidupan bersama. Kendati demikian beberapa orang menganggap bahwa pribadi manusia bertanggung jawab membangun masyarakat menurut hukum kodrat yang telah dinyatakan Allah kepada kita. Oleh sebab inilah masyarakat dunia harus memperhatikan hak-hak yang ada di tengah-tengah hidup mereka.

2.1.1 Hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi

Semua manusia mempunyai hak untuk hidup, maka kehidupan ekonomi manusia juga harus ditunjang. Manusia memiliki kemampuan untuk menunjang kehidiupan ekonominya sendrii untuk menjadi lebih baik. Dengan usaha yang keras manusia dapat membuat kehidupan itu menjadi sejahtera. Perjuangan juga diperlukan untuk memajukan kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.

Usaha dan perjuangan manusia itu didukung oleh macam-macam faktor. Jelaslah bahwa alam telah memberikan manusia bukan hanya untuk mendapat kesempatan kerja sjaa melainkan juga secara bebas menerima pekerjaan itu.[14]

Dalam hubungannya dengan kehidupan ekonomis, manusia dalam menjalankan pekerjaan tidak merugikan tenaga jasmaninya, akhlaknya dan tidak mengahalangi perkembangan yang wajar bagi kaum muda.[15] Ini berarti, setiap mansuia bekerja bukan untuk menghabiskan tenaga saja tetapi dirinya dan merendahkan dirinya dari orang lain tetapi manusia bekerja dengan sesuatu tujuan tertentu untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik. Berkaitan dengan perkembangan, manusia memiliki hak untuk mengalamai suatu perkembangan. Manusia memiliki kehendak yang kuat untuk menampakkan dirinya teristimewa dalam perjuangan untuk memperoleh bentuk-bentuk tuntutan hak-hak seseorang dan pengungkapan diri, suatu perjuangan yang diakibatkan oleh evolusi sistim ekonomi itu sendiri. Hasrat ini menyatakan dirinya dalam kemajuan melampaui batas mulai timbulnya kesadaran akan mempertinggi martabat pribadi yang berlaku baik bagi manusia seutuhnya maupun bagi seluruh umat manusia. Hal ini diungkapkan dalam kesadaran akan hak atas perkembangan. Hak atas perkembangan harus dipandang sebagai saling jalin-menjalin yang dinamis semua hak azasi manusia yang menjadi dasar aspirasi-aspirasi individu-individu dan bangsa-bangsa.[16]

Bagi para wanita, dianjurkan bahwa harus menjalankan pekerjaan dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta kewajiban-kewajiban. Oleh karena martabat manusia yang begitu berharga, maka manusia yang memperjungakan kehidupan ekonominya harus diberi upah yang adil dan taraf hidup yang pantas, seperti yang telah dikatakan sebelumnya oleh Pius XII.

2.1.2 Hak-hak Politik

Pada mulanya gereja tidak mempunyai tugas untuk mengajukan pemecahan masalah politik suatu keputusan moral pada masalah-masalah duniawi, dalam hal ini politik dan bahkan tidak akan mengusulkan suatu pemecahan masalah tunggal sebagai sesuatu yang dapat diterima. Namun demikian gereja mempunyai hak dan kewajiban untuk menyediakan suatu keputusan moral pada masalah-masalah duniawi, dalam hal ini poltik. Ketika ini dituntut oleh iman atatu hukum moral.[17]

Hak politik yang ada dalam mansia nyata seperti yang telah dikatakan oleh Paus Pius XII: “Manusia itu sekali-kali tidak boleh dipandang sebagai objek dan unsur yang pasif kehidupan masyarakat, tetapi haruslah dipandang sebagi subjek, dasr dan tujuan kehdiupan masyarakat.” Oleh karena itu di dalam pribadi manusia terdapat pula hak atas perlindungan hukum bagi hak-haknya, yang harus efektif dan sama bagi semua orang menurut norma-norma perikeadilan yang tepat, seagimana dinyatakan oleh Paus Pius XII: “Jadi tata hukum, yang dikendaki oleh Allah, timbulah bagi manusia hak sendiri dan tidak boleh dipindahtangankan atas jaminan hukum dan justru karena itu ia berhak atas suatu suasana hukum yang nyata, yang melindunginya dari segala penganggu-gugatan yang sewenang-wenang.[18]

Intinya, manusia layak terhadap dirinya sendiri. Ini merupakan suatu hak sendiri yang tidak dapat diambil, dengan perlindungan hukum yang nyata, dan dengan hukum ini melindungi dari segala perubahan yang sewenang-wenang. Manusia mempunyai hak perlindungan hukum yang harus disesuaikan dengan martabat manusia.

2.1.3 Hak-hak atas Nilai-nilai Susila dan Kebudayaan

Saat ini masyarakat sedang menjalani suatu proses budaya yang kompleks sebagai akhir suatu era yang mengahasilkan masa ketidakpastian di hadapan sesuatu yang baru. Tetapi pada saat yang sama orang tidak dapat membiarkan bahaya yang nyata. Orang tidak boleh mengabaikan akibat-akibat yang akan ditimbulkan oleh generasi-generasi yang akan datang. Secara turun-temurun harus diperhatikan dengan sebaik mungkin agar dapat terhindar dari bahaya-bahaya yang bisa terjadi.

Ada sejenis relativisme budaya yang nyata dalam konsep keragaman etis. Keragaman ini mendukung disintegrasi dan kemerosotan akal budi serta prinsip-prinsip hukum moral dasar.[19]

Berkaitan dengan susila, manusia mempunyai hak agar pribadinya dihormati berdasrkan hukum kodrat manusia. Nama baik manusia pula harus dihormati. Mansia berhak atas kebebasan dalam mencari kebenaran, berpendapat, bekerja sesuai tata-susila dan berhak atas penerangan yang objektif mengenai peristiwa-peristiwa umum.[20]

2.1.4 Hak untuk kebebasan status hidup

Manusia itu mempunyai hak yang tidak dapat diganggu-gugat untuk memilih status hidupnya sendiri: baik untuk mendirikan keluarga, dalam mana suami dan isteri mempunyai hak yang sama, maupun untuk menuruti panggilannya menjadi imam atau hidup membiara.[21]

Manusia tidak dikekang untuk memilih status hidupnya sendiri. Dengan kebebasan ini manusia diberi berbagai macam pilihan mengenai status hidupnya. Tetapi dalam kebebasan itu manusia harus mampu bertanggung jawab dengan sebaik-baiknya. Dalam berkeluarga manusia diharapkan untuk menciptakan damai sejahtera bagi keluarga umat manusia. Keluarga sendiri harus memohon damai sejahtera, berdoa bagi damai sejahtera itu serta mengupayakannya. Oleh karena itu kita perlu merenungkan hubungan erat antara keluarga dan kedamaian.[22] Di lain pihak, ada orang yang memiliki panggilan untuk menjadi imam atatu hidup membiara. Ini merupakan suatu pilahan yang sangat mulia karena manusia mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Dalam kaitannya dengan pembebasan, instruksi “Libertatis Nuntius” mengenai segi-segi tertentu tentang Teologi Pembebasan merupakan suatu pesan mengenai kebebasan dan pembebasan sebab baik dalam segi teoritis maupun paraktis, aspirasi terhadap pembebasan kadang-kadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak selalu sesuai dengan kebenaran mengenai manusia, seperti yang dinyatakan dalam terang cahaya mengenai penciptaan dan penebusan.

2.1.5 Hak untuk Menghormati Allah

Ini merupakan suatu bagian yang sangat berharga dari hidup umat kristen. Dalam Perjanjian Lama, dikatakan bahwa umat Israel mengalami perbudakan di Mesir. Umat Allah ini ditindas dan diperbudak. Ini membuat mereka mulai tidak mengenal Allah. Tentu saja ini diakibatkan oleh penindasan. Hak untuk menghormati Allah seakan-akan direbut.

Peristiwa di atas sangat menyimpang. Di dalam hak-hak manusia itu patut disebutkan bahwa manusia bukan hanya mempunyai hak untuk menghormati Allah dengan aturan dan suara hati, tetapi manusia berhak menjalankan agamanya dengan cara pribadi maupun umum.[23]

Sejak lahir manusia sudah memiliki hak untuk menghormati Allah. Ini sangat jelas seperti yang diterangkan oleh Lactantius:

“Kita ini dilahirkan dengan syarat, bahwa kita harus menghormati Allah yang telah mengadakan kita, atas peri yang layak dan pantas, serta mengakui dan mengikuti hanya Dia saja. Dengan ikatan bakti kekanakan inilah kita diikat dan ditambatkan pada Allah, dan dari sinilah berasal perkataan agama.”[24]

Sebenarnya perkataan di atas mau menyampaikan bahwa sejak kita dilahirkan, kita telah diikat syarat, dimana kita harus menghormati Allah yang menciptakan kita. Syarat ini juga menjadi suatu ikatan yang ada dalam diri manusia.

2.2 Antara hak dan kewajiban dalam satu pribadi

Pacem in Terris telah menjelaskan bahwa hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang erat:

“Adapun hak-hak kodrati, yang telah kami perbincangkan hinggga sekarang ini, bersejalan adanya dengan kewajiban-kewajiban yang sama banyaknya, di dalam pribadi yang sama, yang menjadi pemilik hak-hak itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu memperoleh asal, kelangsungan serta kekeutannya yang tak terkalahkan pada hukum kodrat, yang memberikan hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban tersebut.”[25]

Berhubungan dengan hal di atas ada beberapa contoh yang dapat diberikan: hak manusia untuk hidup yang mengikutsertakan kewajiban demi memelihara hidup itu sendiri; hak untuk hidup layak yang membawa kewajiban untuk bertingkahlaku secara sopan; hak atas kebebasan mencari kebenaran yang membawa kewajiban untuk mmeperdalam dan memperluas usaha pencarian kebenaran itu.[26]

Dengan ini menjadi jelas bahwa ini membawa pengaruh terhadap kedua-duanya di mana tiap hak kodrati yang diberikan kepada orang akan menimbulkan suatu kewajiban terhadap orang lain yaitu kewajiban untuk menghormati hak itu. Ini semua dikarenakan setiap hak hakiki manusia mendapat kewenangan dan kekuatan dari hukum kodrat sendiri, yang bukan hanya memberi hak ini, melainkan juga membebankan kewajiban yang sepadan dengan itu. Jadi, mereka yang menuntut hak-haknya, tetapi sama sekali melupakan kewajiban-kewajibannya atau melaksanakan setengah-setengah saja, bolehlah disamakan dengan orang, yang dengan tangan yang satu membongkar apa yang dibangunnya dengan tangan yang lain.

2.2.1 Kewajiban dalam Kerja Sama.

Setelah ditekankan hak-hak manusia dan kewajibannya, sekarang harus dilihat juga bahwa manusia dari kodratnya merupakan makhluk sosial. Dalam hal ini manusia saling berhubungan dan dipersatukan dalam keseluruhan sosial masayarakat; dan masyarakat ditujukan kepada kepentingan semua anggotanya.[27]

Yang mau ditekankan ialah tiap orang harus memperhatikan keasdaan dan perjuangan kawan-kawan yang sama derajatnya dan semua bersama-sama hnedaknya menciptakan suatu kesejahteraan umum yang membantu semua anggotanya, entah orang perorangan, entah dalam kelompok-kelompok yang dibentuk.

Untuk melaksanakan hal ini diperlukan suatu dialog juga. Dialog ini dilaksanakan oleh semua umat beriman. Dan ini mengharapkan tanggung jawab perutusan. Maka orang-orang beriman sendiri yang harus terlibat dalam dialog. Suatu kehidupan Kristen yang mendalam dituntut kepada semua umat. Itu berarti diperlukan suatu kekuatan dan usaha yang besar dari setiap orang. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki amanat perutusan untuk menjalin kerjasama dan berdialog dengan sesamanya dasri agama-agama lain guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan kehdiupan masyarakat lingkungannya (Apostolicam Actuositatem 14).[28]

Ini semua mau menyatakan bahwa dialog adalah salah satu faktor penting yang dapat mendukung kerja sama di antara semua umat beriman. Jika sudah ada kerja sama yang baik, maka tentunya akan dengan mudah tercipta suatu suasana yang tertib dan damai. Banyak juga berbagai kerja sama yang harus dilakukan oleh semua orang di dalam kehidupannya. Dan perlu diketahui juga bahwa solidaritas adalah fakor yang amat berpengaruh terhadap kerja sama itu sendiri.

Dalam Pacem in Terris sudah dijelaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk hdip bermasyarakat, makan mereka haruslah menjalani hidup bersama dan melayani satu dengan yang lain. Oleh sebab itulah suatu masyarakat yang baik dan tertib menuntuk diakui dan dipenuhinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara timbal-balik. Dari sini muncul akibat bahwa setiap orang harus dengna relahati memberikan sumbangannya untuk terbentuknya suatu lalu-lintas sosial, dlaam mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban semakin lebih baik dan lebih efektif dapat terpenuhi.[29]

2.2.2 Rasa Tanggung Jawab

Manusia mempunyai martabat yang menuntut supaya manusia dapat bertindak dengan bebas sesuai dengan pikiran akal sehatnya sendiri. Dalam hubungannya dengan dengan kehidupan bermasyarakat, manusia dengan prakarsa sendiri harus mampu untuk melihat hak-hak yang harus dihormatinya, harus mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban serta memberikan pertolongan kepada orang lain dlaam berbagai macam kegiatan.[30]

Ini berarti setiap orang harus bertindak menurut prinsip-prinsipnya sendiri, dan tidak boleh didesak oleh paksaan ataupun tekanan, yang biasanya dikenakan kepadanya dari luar. Suatu masyarakat, yang semata-mata didasarkan atas paksaan, tidak akan mengandung sesuatu kemanusiaan: sebab mau tidak mau manusia akan dirampas kemerdekaannya dan bukannya didorong untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup pribadinya.

Jadi kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu harus disadarinya bahwa itu semua harus diikat dengan suatu tanggung jawab yang besar agar apa yang dilakukan oleh manusia dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama.

2.2.3 Bersama dalam Kebenaran, Keadilan, Cinta Kasih dan Kebebasan.

“Buanglah kebohongan dan hendaklah kamu masing-masing mengatakan yang benar kepada sesamamu, sebab kita ini anggota satu sama lain.”[31]

Ini bisa diwujudkan asal setiap orang harus dengan iklas mengakui hak-hak dan kewajibannya sendiri terhadap orang lain. Dengan ini semua masyarakatpun akan menjadi seperti yang telah dikatakan tadi, asal mereka juga dapat secara adil menghormati hak-hak orang lain dan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka sendiri dengan setia. Dan mereka harus dibimbing oleh suatu keinginan yang berkobar akan cinta kasih sehingga kesulitan dan kepentingan orang lain akan terasa seperti kesulitan dan kepentingan sendiri, di mana membagi barang dan keuntungannya dengan orang lain serta berusaha, agar semua orang dalam dunia ini saling bertukaran nilai-nilai spirituil mereka yang terbaik. Akan tetapi inipun tidak cukup; masyarakat itu haruslah diwujudkan dalam kebebasan yaitu suatu cara yang sesuai dengan martabat para warga, yang menerima tanggungjawab tindak-tanduk mereka, sebab pada hakekatnya mereka itu berakalbudi.

Berhubungan dengan keadilan, sinode para uskup sedunia menyatakan bahwa: “Merupakan suatu pernyataan syukur kepada Bapa dalam Kristus, yang melalui bentuk pemersatunnya menempatkan di hadapan kita ikatan-ikatan persaudaraan kita dan berulang-ulang mengingatkan kita akan tugas persatuan Gereja. Liturgi sabda, katekese dan perayaan sakramen-sakramen mampu membantu kita menemukan ajaran para nabi, Tuhan dan para rasul mengenai persoalan keadilan.”[32]

Ini berarti lewat kegiatan-kegiatan gereja kita dipersatukan dalam suatu ikatan. Dalam ikatan ini kita diingatkan akan tugas persatuan gereja terutama dalam keadilan. Kita bersama-sama membangun keadilan dalam ikatan kita dengan bantuan gereja.

Dalam refleksinya mengenai “misi Umat Allah untuk memajukan keadilan di dalam dunia.” sinode para Uskup menyatakan hak untuk berkembang dengan kepekaan kultural yang tinggi dan demi perkembangan pribadi manusia. Para Uskup menegaskan bahwa prinsip-prinsip injili mengamanatkan keadilan demi pembebasan segenap manusia sebagai ungkapan hakiki dari cinta kasih kristiani. Gereja harus bersaksi demi keadilan lewat gaya hidupnya sendiri, aktivitas-aktivitas pendidikan dan aksi internasionalnya.[33]

Berkaitan dengan cinta kasih, keadilan mempunyai hubungan yang erat dengan cinta kasih. “Cinta kasih kristiani terhadap sesama dan keadilan tak dapat dipisahkan; mewartakan Injil menuntut dedikasi pada pembebasan manusia di dunia ini.”[34] Cinta kasih merupakan pokok agama Kristen karena Tuhan menghendaki agar semua umat manusia dapat menjadi satu keluarga dan sebagai saudara. Sebab, semua manusia merupakan citra Allah, Yang menjadikan “semua bangsa manusia dari satu orang untuk mendiami seluruh muka bumi” (Kisah Para Rasul 17: 26). Tidak hanya itu, melainkan semua manusia juga dipanggil dalam satu tujuan yaitu Tuhan sendiri. Oleh sebab itu, cinta terhadap Allah dan sesama merupakan perintah yang pertama dan terutama. Kitab suci telah mengajarkan bahwa kita tidak boleh melepaskan cinta kita kepada Allah karena kita hanya cinta kepada sesama: “... kalau pun ada perintah lain, perintah itu tercakup dalam sabda ini: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri...Jadi, kepenuhan hukum adalah cinta kasih.” (Roma: 13: 9-10; bdk. 1Yohanes 4: 20). Hal ini berbukti sangat penting bagi manusia, yang makin hari makin bergantung satu sama lain, dan juga bagi dunia yang makin hari dipersatukan.[35]

Dalam halnya dengan kebebasan, perlu diketahui bahwa kebebasan mempunyai hubungan yang erat dengan kebenaran. “Kebenaran membebaskan kita.” kebenaran ini, yang berasal dari Tuhan berpusat pada Yesus Kristus, Penebus dunia (Yohanes 4: 14). Dari Dia yang merupakan “jalan, dan kebenaran serta hidup (Yoh 14: 6), gereja menerima semua hal yang harus diberikannya kepada umat manusia. Berkat misteri Sabda yang menjadi Daging dan Penebus Dunia, gereja memiliki kebenaran mengenai bapa dan cintaNya kepada kita, dan juga kebenaran mengenai manusia dan kebebasannya.[36]

Yang mau ditekankan di sini ialah Yesus adalah satu-satunya kebenaran yang membebaskan. Dia diutus Allah untuk datang ke dunia. Yesus membawa kebenaran di dunia. Dia ingin membebaskan umat manusia dari dosa. Itulah pembebasan yang berasal dari kebenaran sendiri. Bahkan Yesus harus wafat sampai di salib.

2.3 Kekuasaan Umum Terhadap Hak

Manusia hidup di dunia sebagai makhluk social. Setiap manusia mendiami suatu daerah daam hal ini suatu Negara. Oleh karena itu juga antara manusia dan negara itu sendiri mempunyai hubungan yang erat. Berkaitan dengan haknya, manusia berhak mendapat perlindungan dari negaranya sendiri. Upaya-upaya mutlak perlu unutk diperjuangkan oleh negara dalam hal ini adalah kekuasaan mum. Ini semua menjadi jelas seperti apa yang telah ditulis dalam Pacem In Terris:

“Oleh karena itu manusia juga erhak atas bantuan, manakal ia tertimpa sakit, menjadi cacat karena kerja, menjadi jada, usia lanjut, dilanda banjir pengangguran dan akhirnya setiap kali bila ia kehilangan mata pencarian disebabkan oleh keadaan-keadaan di luar kemaunnya sendiri.”[37]

Dengan ini sudah menjadi jelas bahwa negara yang adalah kekuasaan umum sendiri wajib melindungi warga negaranya sendiri terutama dalam hak-haknya.

2.3.1 Fungsi Kekuasaan Negara

Pada umumnya sangat sulit untuk menetapkan bentuk negara yang terbaik di mana pemerintah negara harus menjalankan kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatifnya. Diperlukan situasi konkrit dan keadaan-keadaan khas tiap bangsa unutk apat menentukan dalam bentuk manakah suatu negara harus diperintah dan bagaimana ia harus menunaikan tugas-tugasnya. Situasi yang konkrit dan keadaan-keadaan yang khas itu penting karena seuanya itu berubah-ubah menurut waktu dan tempat. Tetapi menurut Pacem In Terris adalah jika masyarakat dari negara itu diatur dengan demikian rupa, yang didasarkan atas tiga jenis pembagian kekuasaan, yang sesuai dengan ketiga fungsi pokok kekuasaan negara. Di dalam negara yang memiliki ketiga fungsi pokok itu bukan hanya tugas-tuags para pnguasa saja melainkan juga hubungan-hubungan antara ara wwaarga negara serta pelayan-pelayan umm harus ditetapkan menurtu istilah-istilah hokum. Bagi warga negara hal ini adalah suatu jaminan yang aman untuk menjalankan hak-hak mereka dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dalam hal pencapaian pagaturan yuridis dan politis negara secara teraturan menguntungkan, maka pemerintah harus menggunakan alat-alat dan cara-cara, yang pantas dengan tugas-tugas mereka dan dengan situasi yang konkrit di dalam negara. Walaupun situasi itu senantiasa berubah, mereka yang membuat undang-undang tidak boleh melanggar undang-undang itu sendiri dan lembaga-lembaga kesejahteraan yang ada. Tidak hanya para penguasa harus mengerti dengan baik tentang hokum terlebih juga para hakim harus bertindak dengan perikemanusiaan tanpa memihak agar setiap orang dapat menikmati hak-haknya masing-masing. Jadi, kurang lebih tata tertib dan kelancaran segala urusan menuntut supaya tiap-tiap warga negara dan kelompok-kelompok untuk menjalankan hak-hak mereka sendiri serta melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dengan suatu perlindungan yang sah.[38]

2.3.1.1 Memajukan Hak Pribadi Manusia[39]

Banyak usaha yang dilakukan dalam hal memajukan hak pribadi manusia. Dalam halnya dengan kekuasaan umum, salah satu contoh lembaga yang berperan penting dalam memperjuangkan hak-hak manusia adalah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Upaya-upaya yang dilakukan antara lain:

1. Pada tanggal 10 Desember 1948: PBB mengumumkan “Universal Declaration of Human Right”. Pada umumnya, deklarasi ini dilihat sebagai titik tolak unutk semua pemikiran dan rumusan lebih lanjut berhubungan dengan hak asasi manusia

2. Tahun 1996, deklarasi tersebut dilengkapi dengan dua pernyataan khusus supaya hak-hak asasi mendapat kekuatan yang mengikat. Pernyataan khusus itu ialah:

1. Perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

2. Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

3. Tahun 1975 hak-hak asas dirumuskan lagi secara husus dalam persetujuan Helsinki.

4. Tahun 1981 diumumkan piagam Afrika mengenai hak-hak menausia dan bangsa-bangsa.

Semua perjuangan di atas sudah menjadi kewajiban. Seperti yang tercantum dalam Pacem In Terris bahwa memajukan hak-hak pribadi manusia sudah menjadi tugas para pemegang kekuasaan negara untuk mengusahakan terciptanya suatu keadaan di mana setiap warga negara dapat melindungi hak-hak mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka. Sebab pengalaman menunjukkan bahwa jika kewibawaan tidak dijalankan secara tepat di dalam urusan-urusan ekonomi, sosial atau kebudayaan, maka akan segera timbulah percekcokan warga negara denga akibat bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia hanya sia-sia belaka atau setengah-setengah saja dijalankan. Jadi, sangat perlu bahwa para pembesar harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar para warga negara dapat mencapai kemajuan dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Para penguasa juga harus berusaha dengan giat dan sebaik-baiknya agar kaum buruh bias mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, dan supaya kepada mereka masing-masing diberian upah yang sah, adil dan pantas, supaya mereka diberikan bagian tanggungjawab dalam berbagai pekerjaan, diberian kesempatan untuk dengan cara ang tepat mendirikan serikat-serikat sekerja, yang akan lebih memperlancar dan menguntungkan masyarakat, dan akhirnya supaya semua orang dapat memperoleh benda-benda kebudayaan dalam bentuk dan taraf yang sesuai dengan perkembangan mereka masing-masing.[40]

2.3.1.2. Mendukung Mutu Hidup Yang Layak

“Manusia berhak juga memilih sendiri corak hidup yang menarik baginya: apakah henda berkeluarga – dalam membentuk keluarga, pria dan wanita mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama – atau hendak menempuh hidup sebagai imam atau religius.”[41]

Jika dimengerti secara luas, hak atas hidup manusia mencakup juga aspek-aspek yang menunjang kehidupannya, seperti; sandang, pangan dan papan yang layak. Hak manusia adalah mendapatkan penghidupan yang layak, baik jasmani maupun rohani.

“Akan Tetapi yang pertama-tama perlu dibahas ialah hak-hak manusia. Ia berhak hidup. Ia berhak pula atas keutuhan badannya dan atas upaya-upaya yang diperlukan untuk pengembangan hidp yang sewajarnya, khususnya makanan, pakaian, tempat berteduh, perawatan kesehatan, istirahat, dan akhirnya pelayanan-pelayanan sosial yang dibutuhkan.” (…)[42]

Hidup bermasyarakat juga termasuk aspek yang menunjang kehidupan manusia, mengingat manusia adalah makhluk sosial.

“Akhrinya, martabat pribadi manusia mencapkup haknya berperan serta secara aktif dalam kehidupan umum dan membawa sumbangannya sendiri kepada kesejahteraan umum sesama warga negara” (…)[43]

“Karena menurut kodratnya manusia bersifat sosial, orang-orang harus hidup bersama dan saling mengindahkan kepentingan mereka.” (…)[44]

Tindakan manusia juga ikut berpengaruh dalam kehidupannya, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Manusia memiliki dua tipe hubungan atau cara untuk menentukan hidupnya, yaitu secara intern maupun ekstern. Hubungan secara intern berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri pribadinya dalam bidang kerohanian, seperti; agama dan pendidikan. Hubungan secara ekstern menyangkut hal-hal fisik seperti makan, lingkungan alam dan masyarakat. Kedua hubungan ini juga saling berkaitan membenuk pribadi dan menunjang hidup dari tiap manusia.

Manusia juga memiliki hak untuk dihargai dan nama baik, untuk mengetahui kebenaran dan berbicara. Juga dalam hal penerimaan informasi tentang peristiwa umum.

“Selain itu menurut kodratnya manusia berhak dihargai. Ia berhak atas nama baik. Berhak pula atas kebebasan menyelidiki kebenaran, dan – dalam berbicara dan menerbitkan karya tulis, lagi pula atas kebebasan untuk menjalankan profesi maupun yang dipilihnya. Ia berhak juga atas informasi yang cermat tentang peristiwa-peristiwa umum.”[45]

Dari pihak agama juga jelas-jelas memperjuangkan kehidupan. Hal ini Nampak dalam sidang umum yang diadakan oleh Dewan Parlemen Agama-agama dunia di Chicago pada tanggal 28 Agustus – 4 September 1993. Dalam sidang yang dihadiri oleh kurang lebih 6.500 orang dari perwakilan setiap agama, diputuskan suatu deklarasi mengenai “Etika Global” (Declaration Toward A Global Ethic). Ada 4 keputusan pokok yang diambil dalam sidang tersebut:

1. Komitmen pada budaya non-violence dan hormat pada kehidupan.

2. Komitmen ada budaya solidaritas dan tata ekonomi ang adil.

3. Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus.

4. Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerja sama antara laki-laki dan permpuan.[46]

Dalam hal ini Nampak bahwa agama-agama di dunia peduli akan kehidupan manusia. Gereja, sebagai suatu lembaga sosial yang berhubungan dan berkaitan sangat erat dengan hidup rohani manusia turut memperhatikan dan mengangkat hak hidup manusia. Hal ini Nampak dalam beberapa dokumen Gereja, salah satunya adalah Pacem In Terris.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dalam Kitab Kejadian dinyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:27). Manusia adalah citra Allah yang sungguh besar dan hidup (imago Dei). Manusia merupakan derajat tertinggi dalam penciptaan dan suatu kesempurnaan melebihi ciptaan yang lainnya.

F.A Eka Yuantoro, dalam hipotesisnya dari dokumen-dokumen gereja tentang pentingnya hidup mengatakan:

“Hidup manusia mempunyai martabat luhur yang terus diperjuangkan dalam menghadapi penderitaan dan sakit. Kita ditantang untuk terlibat dan membela hidup manusia sebagai perwujudan iman agar karya keselamatan Allah dalam diri Yesus menjadi nyata.”[47]

Gereja sangat peduli akan kehidupan manusia, tapi juga agama-agama lainnya. Hidup manusia dijunjung tinggi dan perlu diperlihara dan dihormatai sebagai anugerah Allah. Alasannya bias bervariasi sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Konsekuensi lain martabat pribadi manusia adalah haknya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi sesuai dengan tingkatan tanggungjawabnya. Maka orang-orang yang bekerja sebagai buruh juga berhak menerima upah yang ditetapkan menurut asas-asas keadilan. Itu perlu ditekankan. Besarnya upah yang diterima oleh buruh, serasi dengan dana-dana yang tersedia, harus mencukupi sehingga memungkinkan di keluarga hidup menurut taraf yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Beginilah Paus Pius XII menguraikannya: “Kodrat membebani manusia dengan kerja sebagai kewajibannya; dan selaras dengan itu manusia pada hakikatnya berhak menuntut, agar pekerjaan yang dilakukannya menghasilkan baginya beserta anak-anaknya rezeki hidup. Itulah keharusan kodrat yang mutlak demi lestarinya hidup manusia.[48]

Dalam makna dan penghayatan hidup, pertanyaan mengenai makna hidup bukanlah hal yang baru. Pertanyaan itu selalu ada. Namun demikian, tampaknya pertanyaan itu menjadi jauh lebih sulit bagi manusia dewasa ini, sebab kini manusia hidup di tengah-tengah lingkungan dunia yang terlampau luas. Lain dari dulu, kini ia hars hidup dalam lingkungan yang tak terjangkau lagi olehnya. Terlebih lagi, dewasa ini banyak sekali tawaran yang ternyata menyodorkan jawaban berbeda-beda. Bidang-bidang kehidupan seperti kerja, keluarga, rekreasi, politik, ilmu, agama, dan sebagainya sering terasa tidak gberhubungan lagi satu dengan lainnya.

Manusia seakan harus bernasib seperti binatang “yang dikendalikan dengan kekang” (Mzm 32:9), bukan karena manusia harus mati, melainkan karena ia tidak lagi dapat memilih arah hidupnya sendiri. Dalam system sosial-ekonomi, manusia hanyalah salah satu unsur yang harus menyesuaikan diri dengan putaran seluruhnya. Adat-istiadat serta tradisi tak lagi menjadi pegangan yang dapat member arti kepada hidup manusia. Banyak orang cenderung kea rah nostalgia atau pesimisme yang kelam.

Makna hidup tidak dapat ditemukan di dalam masa lampau, tidak juga di dalam rumusan-rumusan yang diberikan oleh orang lain. Hidup mendapat maknanya dalam penghayatan hidup sendiri. Hidup mempunyai arti bagi orang yang menghayati hidupnya sendiri. Karena itu, pertanyaan tentang makna hidup sebenarnya baru muncul jika manusia mulai sangsi atas kemampuan dirinya untuk menghayati hidupnya sendiri. Makna hidup juga tidak tergantung pada keuntungan atau keberhasilan. Bahkan dalam penderitaanpun hidup mempunyai makna. Manusia harus percaya dan menerima hidupnya. Baru dengan demikian, manusia dapat mengartikan dan member makna kepada hidup. Pertanyaan yang sama akan muncul, bila manusia hanya mencari sukses atau mengidentikkan dirinya dengan proyek hidup dan cita-cita tertentu. Bagi orang seperti itu, kegagalan untuk meraih cita-cita yang diinginkannya berarti seorang ibu bagi anaknya tetap mempunyai makan, juga bila anak itu tidak mencapai umur dewasa atau tidak berkembang sebagaimana diharapkan.[49]

2.3.2. Tata Hukum Dan Kesadaran Moril

Dalam menjalankan kehidupannya, manusia memiliki hak untuk berbuat apa saja sesuai dengan keiinginan, situasi, keadaan dan kondisi yang ada. Meskipun begitu manusia tidak boleh seenaknya saja melakukan tindakan-tindakan yang jelas merugikan hak orang lain karena setiap manusia diberikan hak yang sama dan kewajiban yang sama. Manusia memiliki kelebihan dari pada makhluk hidup lainnya, yaitu: akal budi. Manusia memiliki kelebihan untuk mempertimbangkan dan memilih “jalan” yang paling tepat bagi hidupnya sehinnga manusia disebut sebagai anima rationale. Karena itu, walaupun manusia berhak menjalani kehidupan dan bebas mengupayakan apa saja demi terpenuhnya tujuan dan kebutuhannya tapi sangat diharuskan bagi manusia untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan menghormati hak orang lain.

Hak untuk hidup adalah hak setiap insan, baik yang telah dilahirkan maupun yang masih dalam pembuahan. Meskipun hidup manusia merupakan hak, namun dalam hidup pun manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang tidak boleh dilalaikan. Kewajiban ini berimabang dengan hak yang dimiliki manusia untuk hidup.

Dalam zaman kita ini, perubahan telah terjadi dalam kehidupan sosial. Sudah menjadi begitu kompleks dan dinamis sehingga peraturan-peraturan yuridis tidak mendukung kebutuhan yang ada. Ini juga disebabkan karena tidak adanya hubungan antara warga negara dengan sesamanya, antar warga negara dengan pemerintah juga dengan badan-badan pemerintah dengan sesamanya yang mengakibatkan cukup rumit untuk mencakup batas-batas yang ditetapkan oleh hokum. Oleh karena itu diperlukan suatu kesadaran baik dari penguasa ataupun warga negara sendiri. Pemerintah suatu negara harus mempunyai pengertian yang jelas tentang sifat dan luas tugasnya, jika dia ingin memlihara keuutuhan negara di dalam hakekatnya dan di dalam unsur-unsurnya yang bermacam-macam. Tidak hanya itu, melainkan juga jika dia ingin menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan hukum-hukum yang ada pada zaman sekarang serta menertibkan berbagai masalah yang baru.[50]

Akhirnya dituntut pula agar hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta hubungan antar warga negara dengan penguasa negara ditetapkan secara jelas agar ditentukan secara jelas tentang tugas penguasa adalah mengakui hak-hak dan kewajiban-kewajiban para warga negara dan melindunginya.[51]

Manusia juga harus lebih sadar akan martabatnya dan bahwa mereka didorong untuk berpartisipasi dengan aktif dalam pemerintahan negara untuk menuntut agar hak-hak mereka sendiri tidak diganggu-gugat dan dijamin oleh undang-undang negara.[52]

2.4 Tata Tertib dalam Hubungan-Hubungan Dengan Masyarakat Dunia.

Apabila kita merenungkan tentang martabat manusia dilihat dari kebenaran yang telah diberikan Allah maka kita harus menempatkan martabat itu pada posisi paling tinggi: sebab itu semua berasal dari suatu penebusan oleh darah Kristus yang merupakan anak dan sahabat Allah serta menjadi ahli waris kemuliaan kekal.[53]

Oleh karena itu, dalam masyarakat dunia manusia memiliki suatu martabat yang harus dihargai. Itu sangat penting dalam diri manusia. Manusia dalam melaksanakan segala tata- tertib harus melihat terlebih dahulu martabatnya sendiri. Ini semua dilakukan karena manusia merupakan makhluk yang berada dalam masyarakat dunia.

2.4.1 Manusia Adalah Satu Oknum.[54]

Manusia sebagai oknum adalah suatu ciptaan antara ciptaan Tuhan yang sanggup berpikir, bisa merefleksikan atas diri sendiri, yang mempunyai kehendak bebas demi tujuan hidupnya. Tujuan hidup itu ialah kehidupan abadi. Inilah suatu keluhuran dari martabat manusia. Sebagai oknum, manusia lebih dari ciptaan apapun. Semua diserahkan oleh Pencipta kepada manusia untuk tujuan transendentalnya. Untuk itu manusia harus mengusahakan perkembangannya sendiri karena ia mempunyai tujuan. Ini merupakan suatu sikap sosial di mana dalam mengusahakan tujuannya, mereka saling membutuhkan dan membantu; tidak boleh ada paksaan yang menghambat perkembangan. Jadi tiap manusia adalah subjek, pelaksana, sekaligus tujuan perkembangannya. Akibatnya, segala lembaga sosial abertujuan turut serta dalam perkembangan oknum manusia. Karena kodratnya manusia membentuk berbagai macam embaga sosial dan cara hidup bersama dengan orang lain. Lembaga-lembaga itu dibentuk demi dirinya sendiri, tetapi sebagai alat bantuan bagi manusia. Setiap manusia hendaknya mengusahakan tujuannya sehingga ia juga menghargai, bahkan memperluas kebebasan orang lain untuk bertindak. Dalam bertindak manusia menyumbangkan kepada sesamanya. Dengan kata lain, semua orang sama derajatnya dalam dasar kepribadiannya; semua harus maju dalam saling membantu oleh cara perjuangannya. Maka dibentuklah lembaga yang bertujuan demi kesejahteraan dan tujuan anggota-anggotanya dan bukan sebaliknya. Tak pantas jika orang atau suatu lembaga yang memandang orang lain sebagai pemuas saja dalam arti menghisap orang lain. Persamaan derajat harus diakui sebagaimana yang ditunjuk dalam Kitab Suci, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain berbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi” (Mat 7:12).

Martabat manusia sebagai oknum justru melarang, dalam proses ekonomi atau dalam hidup bersama, manusia diperlakukan oleh atasan atau oleh satu kelompok berpengaruh sebagai alat untuk kepentingan nebara atau perusahaan, satu alat mati yang tidak didengar dan tidak diperhatikan dari pada bebek-bebek di kandang, atau kalau manusia hanya diperhatikan dalam nilai ekonomisnya saja.

Franz Magnis-Suseno, dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V di Jakarta (Kompas, 07.09.91) mengatakan,

“dengan mengukur produktivitasnya manusia hanya dilihat sebagai alat atau sarana untuk mencapai suatu sasaran. Yang bernilai suatu sasaran itu, manusia hanya bernilai sejauh sebagai instrument yang dapat merealisasikan sasaran. Dengan pendekatan semacam ini, kita dapat membedakan secara kualitatif antara manusia dengan makhluk yang bukan manusia, nilai intrinsik manusia bukan karena fungsinya, tetapi bila diakui nilai absolutnya sebagai manusia. Martabat yang dimiliki manusia lepas dari segala fungsinya. Kualitas manusia adalah mutu manusia secara moral.”

Hak-hak oknum manusia ini sekarang mulai berteriak juga dalam masyarakat kita. Kesamaan-kesamaan mungkin bertentangan dengan perasaan agama atau kultural dari zaman dahulu di mana kuasa pemimpin dianggap berasal dari dewa, dari alam, dari persatuannya dengan alam sehingga tidak boleh dilawan atau dikritik. Kalau demikian, kebudayaan harus disempurnakan oleh Injil.

Ada hak asasi dari martabatnya bahwa manusia bias menentukan cara hidupnya, caranya berjuang mencapai tujuan hidupnya, hak yang sama untuk oknum manusia. Umat manusia berhak tidak didikte dan disuruh saja. Bahkan karena manusia bertujuan ke dunia transendental yang abadi, maka manusia selalu mendapat prioritas di atas barang duniawi. Karya manusia lebih penting dari pada modal/kekayaan yang mau dihasilkan, dan aturan etika harus lebih dipentingkan dari pada teknik dan ekonomi. Hak-hak harus diberikan: itulah keadilan dalam semangat dan didorong ole perintah Yesus yang utama: perintah cinta.

2.4.2. Manusia adalah Makhluk Sosial[55]

Setelah ditekankan tentang hak-hak manusia atas dasar martabatnya, harus diperhatikan bahwa oleh kodratnya manusia adalah makhluk sosial. Manusia saing berhubungan dan dipersatukan dalam masyarakat yang ditujukan kepada semua anggotannya.

Dalam mengusahakan tujuannya, tiap orang harus memperhatikan mereka yang mempunyai kesamaan derajat. Tiap orang juga hendaknya menciptakan suatu kesejahteraan umum yang membantu semua anggotanya.

Dalam sikap kesosialan, manusia akan lebih memperhatikan kewajibannya. Tetapi bukan berarti hak-haknya tidak diperhatikan. Di dalam kehidupannya ada hubungan-hubungan sosial yang keluar dari kodratnya misalnya keluarga dan negara yang mempunyai ketergantungan.

Pada zaman sekarang ini menjadi nyata bahwa ada ketergantungan dan hubungan timbal-balik yang semakin hari semakin bertambah. Apalagi sekarang kepentingan umum makin mencakup seluruh dunia yang menghadapkan semua orang pada masalah-masalah kehidupan. Oleh karena itu diperlukan pimpinan dalam masyarakat agar hubungan timbal-balik ini dapat befungsi dengan baik. Karena pimpinan mempunyai wewenangan untuk mengatur dan memerintah. Tetapi perlu diingat bahwa itu semua hanya untuk kepentingan umum.

Dalam halnya dengan tujuan masyarakat, masyarakat mempunyai tujuan yaitu turut serta berjuang agar bagi manusia sebanyak mungkin tersedia apa yang dibutuhkannya untuk menjalani hidup yang benar sesuai martabatnya sebagai manusia, seperti sandang, pangan, papan (perumahan), kebebasan untuk memilih cara hidup, untuk membangun keluarga, untuk pendidikan. Hak atas pendidikan dan hak atas kerja inilah merupakan satu tugas berat bagi pimpinan masyarakat. Hak atas nama baik berhubungan dengan ini dibutuhan sistem pengadilan yang independen, yang sungguh adil dan tidak korup, atau terikat pada kuasa legislatif atau eksekutif. Hak untuk bertindak sesuai hati nurani yang tepat (ingat KB) kebebasan hidup menurut agamanya dan seterusnya.

Di sini ada tugas besar untuk partai-partai politik dan pakar sosial: tidak boleh terjerumus dalam kolektivitas di mana kolektivitas menjadi tujuan; juga tidak boleh diberikan kemerdekaan total seperti liberalisme.

Dalam masyarakat ada banyak lembaga dan institut tingkat pemerintahan yang merangul semua anggotanya. Hubungan timbal-balik antar mereka hendaknya diatur sesuai asas “bantuan-cadangan” (subsidiaritas). Dari bawah ke atas semua mesti memberi bantuan agar keseluruhan dapat mencapai kesejahteraan yang memungkinkan segala lapisan dan golongan di bawah bisa bergerak dan mewujudkan perjuangannya secara lebih baik. Demikian pula dari atas diberikan bantuan secara umum dengan menciptakan situasi dan iklim baik yang hanya bisa diadakan oleh pimpinan umpamaannya keamanan hubungan lalu lintas. Dan bantuan ke bawah terhadap manusia pribadi dan lembaga-lembaga segala macam hanya boleh bersifat “mengisi lowongan, memberikan apa saja yang kurang, tidak dalam jangkauan bawahan”, umpamaannya soal koperasi memang dibutuhkan oleh umat, namun bukan suatu koperasi yang didropkan oleh pemerintah, yang berfungsi sebagai alat-negara yang di fakto menentukan besar-kecilnya hasil pekerjaan umat. Koperasi hendaknya bertumbuh dari bawah. Serikat buruh bukan alat-alat negara yang membungkam dan mengatur semua demi kepentingan dan sesuai perencanaan “atasan” yang berkuasa.

BAB III

Sumbangan Pacem In Terris bagi Kehidupan Dewasa Ini

Pada bab-bab sebelumnya telah diuraikan mengenai apa yang dimaksudkan dengan Pacem In Terris, latar belakang, maksud dan tujuan deterbitkannya dokumen Pacem In Terris serta pandangan ensiklik ini dalam memperjuangkan hak hidup manusia. bahwa setiap manusia berhak atas hidup yang sudah diberikan atau dianugerahkan Sang Pencipta secara cuma-Cuma. Hak hidup itu tergambar dalam hak memelihara hidup, hak atas mutu hidup yang layak dan hak untuk mencari kebenaran dengan bebas berimbang. Hak hidup dari setiap manusia itu dapat terwujud apabila tercipta suasana perdamaian antara manusia satu dengan yang lain. Bagaimana mewujudkan perdamaian itu?

Berikut ini merupakan beberapa sumbangan pemikiran dari ensiklik Pacem In Terris dalam usaha menciptakan perdamaian antar umat manusia. Dalam Pacem In Terris, gereja menyadari dan meyakini bahwa manusia bisa tiba pada situasi bahagia dan saling mengasihi apabila adanya peradamaian. Untuk mencapai perdamaian itu perlu ditunjang dengan hukum sebagai sarana terciptanya perdamaian. Serta perlu adanya kerja sama yang baik antar umat manusia dalam menciptakan perdamaian itu.

3.1 Kebahagiaan dan Cinta Tercipta Apabila Ada Perdamaian

Dalam kehidupan setiap orang, pasti ada hal yagn selalu diimpikan. Hal yang diimpikan itu pasti akan diusahakan sebaik mungkin hingga tercapai. Ketika impian itu tercapai, apakah keinginan dan impian manusia akan berhenti sampai di situ? Tidak. Manusia akan berusaha lagi untuk mimpi-mimpi yang lebih tinggi. Mengapa? Karena sifat manusia yang tidak puas itulah maka manusia menginginkan hal yang lebih dari miliknya. Keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Walaupun hampir semua hal telah ia miliki, namun ia akan merasa tertarik manakala melihat sautu hal yang menarik dan lebih bagus dari ayg dimilikinya. Ia akan kembali mengusahakan hal yang ia sukai itu sebisa mungkin. Begitu seterusnya sampai akhir hidup manusia.

Apa sebenarnya yang dicari manusia dari kehidupan ini? Apakah harta, kekuasaan, jabatan? Bukan. Semua itu hanya merupakan perantara atau media saja. Ketika manusia mencapai suatu tingkat harta, kekuasaan atau jabatan tertentu, manusia akan menginginkan satu hal yang lebih dari keadaanya saat itu. Ini menandakan bahwa harta, kekuasaan dan jabatan tidak menjamin kepuasan hidup manusia.

Setiap orang pasti mempunyai cita-cita. Ingin jadi apa kalau sudah bersar nanti. Cita-cita yang telah tertanam telah tertanam di dalam benak itu dari kecil akan diusahakan sedemikian rupa oleh yang bersangkutan agar bisa terapai. Berbagai macam cara ditempuh untuk mencapai cita-cita. Berapapun biaya rela dikeluarkan demi tercapainya cita-cita, bakan hingga sekolah ke luar negeri yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua itu hanya untuk mencapai cita-cita. Namun, ketika cita-cita itu telah tercapai, apakah keinginan dan mimpi manusia akan berhenti di situ? Nyatanya tidak.

Manusia tidap pernah puas dengan apa yang telah ia terima. Manusai tidak pernah berhenti untuk mendapatkan sesuatu. Ketika keinginannya telah terpenuhi pasti selalu menginginkan yang lebih. Terkadang, hidup berjalan tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Tidak semua keinginan terpenuhi. Tidak semua cita-cita tercapai. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang tidak sempurna meskipun dilengkapi dengan akal budi. ‘Lupa’ dan “melakukan kesalahan/khilaf’ merupakan hal yang wajar dalam hidup manusia. Nilai sebenarnya dari perjuangan dan keberhasilan manusia tidak dilihat dari apa yang telah ia capai, tetapi dari titik mana ia bertolak dan usaha-usaha yang telah dilakukannya untuk mencapai tujuan. Nilai perjuangan dan keberhasilan seorang anak pejabat yang menjadi dokter sangat berbeda degan seorang anak penjual pisang goreng yang menjadi dokter. Ini dikarenakan perbedaan titik tolak dan kemungkinan usaha-usaha yang dilakukan. Anak pejabat tidak akan pusing degnan segala biaya untuk studinya. Sedangkan anak penjual pisang goreng harus belajar mati-matian untuk mendapatkan beasiswa prestasi.

Tapi, apa sebenarnya yang diinginkan oleh manusia yang tidak pernah puas? Apa sebenarnya yang ada di balik impian, mimpi dan cita-cita seorang manusa? Jawabannya adalah ‘cinta’ dan ‘kebahagiaan’.

Manusia senantiasa mencari kebahagiaan dan cinta dalam hidupnya. Di balik impian dan cita-citanya tersimpan keinginan manusia untuk hidup bahagia dan dicintai. Ketika manusia tidak bahagia, ia akan terus mencari halyang bisa membuatnya bahagia. Inilah yang meyebabkan manusia terus menginginkan sesuatu. Meskipun begitu, kebahagiaan tidak tergantung dari apa yagn ia miliki, apakah ia berkecukupan, berkelebihan, atau berkekurangan.

Mengapa kebahagiaan menjadi impian dasar manusia?

Alasannya, orang yang merasa bahagia akan melupakan kesusahan hidupnya. Kerap kali ada orang kaya yang terus hidup dalam kegelisahan karena tidak menenmukan kebahagiaan dalam hidup dna dari semua yagn dimiikinya. Tetapi orang yagn hidupnya pas-pasan atau malah berkekurangan dapat tertawa bahagia, beranda, meskipun hiudp mereka serba kekurangan.

Kebahagiaan dan cinta merupakan tujuan hidup manusia. Hal ini amat dibutuhkan dalam mewujudkan suatu kehidupan yagn damai, aman, nyaman, tentram dan harmonis.

‘Pacem In Terris’ adalah ensiklik mengenai usaha mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan. Dunia yang bahagia adalah dunia yagn damai. Di dalamnya terdapat kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan.

Manuel. J. Costa, dalam “Pastoral Life” yang diceritakan kembali oleh Padmono, mengemukakan 8 tips bahagia berikut;[56]

1) “Berbahagialah mereka yagn memperkembangkan suatu penilaian dan kepercayaan diri yang sehat”

Manusia adalah makhluk yang unik yang diciptakan sebagai gambaran Allah.[57]

2) “Berbahagialah mereka yang kritis terhadap segala sesuatu”

Dari rasa ingin tahu yang benar, kita mendapatkan pengetahuan. Rasa ingin tahu akan kebenaran juga merupakan hak baig tiap manusia.[58]

3) “Berbahagialah mereka aygn tahu bagaimana mendengarkan”

Mendengarkan merupakan suatu keterbukaan pikiran. Seharusnya menusia harus lebih banyak mendengarkan daripada bicara. Mungkin inilah sebabnya Tuhan menciptakan 2 telinga 1 mulut.

4) “Berbahagialah mereka yagn jujur terhadap perasaan-perasaan mereka dan dapat menerimanya”

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, terkadang manusia sulit menerima kekurangannya. Perasaan itu disimpannya dalam hati dan terus ditekan. Akibatnya, ia mengalami tekanan batin dan gelisah. Manusia seharusnya eneriam kekurangnan sebagai bagian yagn nyata dalam hidup. Dengan demikian, ia akan mampu menerima kekurangan orang lain.

5) “Berbahagialah mereka yang dapat menempatkan diri di tengah-tengah orang lain”

Jika mampu meninggalkan sejenak saja pandangan sendiri dan menerima pandangan orang lain akan membuat manusia itu lebih toleran dan memiliki sifat memaafkan.

6) “Berbahagialah mereka yang memelihara rasa humor”

Jika manusia dapat menertawakan dan menerima kekurangan sendiri dan memandangnya dalam perspektif dengan pandangan yang lebih luas, kita akan mampu mempertahankan spontanitas dan antusiasme kita yang sehat.

7) “Berbahagialah mereka yang hidup pada masa sekarang”

Hari ini adalah hari ini. Besok hanyalah impian dan kemarin hanyalah ingatan. Jalanilah hari ini sebaik mungkin sebagai rahmat dari Allah.

8) “Berbahagialah mereka yang berharap”

Kita akan tumbuh kalau kita tetap berharap, meskipun kegagalan terus menimpa. Pengharapan dapat mengatasi kegagalan. Dosa tidak terletak dalam kejatuhan seseorang, tetapi dalam ketidakmampuannya untuk bangkit lagi.

Dari 8 tips ini dapat diambil makna bahwa bahagia dapat diperoleh dari hubungan yang baik degnan diri sendiri dan dengan orang lain. Mampu mengolah kedua hubungan ini dengan baik menciptakan keadaan dimana setiap orang dapat hidup dalam damai.

‘Pacem In Terris” mengangkat berbagai sudut kehidupan manusiawi, kemasyarakatan, kenegaraan dan religius.

Masyarakat dewasa ini disebut-sebut sebagai masyarakat modern. ada juga yang menyebut masyarakat global, masyarakat yang sudah jauh berkembang baik teknologi, politik, ekonomi dan kemasyarakatan. ‘Pacem In Terris’ menggambarkan zaman modern yang memiliki 3 ciri;[59]

40. “Ternyata, kondisi ekonomi dan sosial kaum pekerja berangsur-angsur mengalami kemajuan” (...) “Oleh karena itu dewasa ini kaum pekerja di seluruh dunia dengan lantang menuntut, supaya mereka jangan pernah lagi diperlakukan dengan semena-mena, seolah-olah tidak berakalbudi atau tanpa kebebasan” (...)

41. “Kedua, peranan kaum wanita sekarang dalam hidup berpolitik di mana-mana menonjol” (...)

42. “Akhirnya, pada zaman modern ini yang kita hadapi suatu pola masyarakat, yang berkembang menurut halauan sosial dan politik yagn baru sama sekali.” (...)

3.2 Hukum Sebagai Sarana Terciptanya Perdamaian

Kehidupan masyarakat modern tidak lepas dari hukum yang berlaku. Namun, banyak orang mensalahartikan hukum sebagai sesuatu yang mengerikan, mengekang dan membatasi gerak manusia. Tetapi itu tidak benar. Hukum memperlihatkan bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat dan hubungan timbal balik masyarakat dan pejabat harus diwujudkan.

“Hukum-hukum itu dengan jelas memperlihatkan, bagaimana manusia harus berperilaku terhadap sesamanya di masayarakat, dan bagaimana hubungan-hubungan timbal-balik antara warganegara dan para pejabat harus diwujudkan.(...)”[60]

Menurut I Gede Arya. B. Wiranata, manusia memiliki 2 hak dasar yaitu pertama, hak manusia (human rights) adalah hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Kedua, hak undang-undang (legal rights) adalah hak yang diberikan oleh undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia.[61]

Perkembangan HAM telah mencapai suatu tahap yang kini disebut “Generasi HAM’. Generasi HAM memiliki 3 generasi. Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Generasi ketiga memuat sejumlah hak-hak kolektif (hak atas perkembangan/kemajuan, hak atas kedamaian, hak atas lingkungan yang bersih, hak atas kekayaan alam dan hak atas warisan budaya.[62]

‘Pacem In Terris’ juga turut menunjang HAM. Dalam pembahasan mengenai hak-hak manusia, diangkat juga hak-hak manusia yang umum menyangkut hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan kebebasan berkarya serta hidup layak.[63]

Dalam bidang kenegaraan, ‘Pacem In Terris’ memberikan pandangan dan pedoman dalam hal kewenangan-kewenangan negara, struktur negara, hubungan antar negara, masalah antar negara dan menyinggung tentang PBB. ‘Pacem In Terris’ memberikan penerangan, pandangan dan perhatian dari gereja terhadap permasalahan umum yang terjadi.

3.3 Diperlukan Kerjasama Antar Umat Manusia

Hidup Kristiani juga dirasa perlu untuk dikembangkan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. ‘Pacem In Terris’ mengangkat komitmen Kristiani terhadap kemajuan manusiawi. Di dalamnya juga dipaparkan kerjasama antar sesama Kristiani dan juga dengan yang non-Kristiani.

Semua hal di atas merupakan lingkup bahasan dan sasaran dari ensiklik ‘Pacem In Terris’. Dalam hal ini, ‘Pacem In Terris’ bukanlah suatu aturan atau sistem aturan tetapi merupakan suatu pandangan dan perhatian bapa konsili atas nama gereja Katolik dalam tujuan perwujdan damai dalam dunia. Damai harus hidup dalam hati semua orang agar terwujudnya dunia yang damai.[64]

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap orang pasti menginginkan agar supaya hidupnya bahagia. Kalau orang yang menginginkan hiudpnya tidak bahagia berarti orang itu tidak memiliki prinsip dalam hidup. Bisa dikatakan ‘gila’. Mengapa? Karena tidak mungkin orang dilahirkan ke bumi ini tidak untuk bahagia. Tuhan menciptakan setiap orang baik adanya (bdk. Kej 1: 28). Than memberikan akl budi, kehendak bebas, dan kemampuan untuk menguasai. Maksud dari semuanya itu adalah untuk membuat hidup kita lebih terfokus atas apa yang inign kita buat. Seseorang meyakini apa yang telah ia yakini.

Berkaitan dengan hidup, seseorang pantas mendapat tempat yang layak dalam kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat, dan berlebih khusus di dalam gereja. Manusia berhak juga sendiri corak hidup yang menarik baginya (lanjutkan artikel 15). Tetapi, hidup itu juga harus dimaksimalkan dengan baik oleh setipa orang untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Setiap orang juga harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Masing-masing orang juga diberikan kebebasan dalam arti kebebassan yang bertanggung jawab. Jangan orang menyalahgunakan kebebasan tersebut. seseorang menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda-beda tetapi di mata Tuhan itu sama. Setiap orang hendaklah menempuh hidupnya dengan baik dan benar sebagi bukti bahwa kita menghormati serta menghargai hidup tersebut. dalam hidup, pasti setiap orang tidak akan terleaps dasri setiap masalah tetapi bagaimana kita dapat mengolah sehingga masalah-masalah itu dapat terselesaikan dengan baik dan itu tidak menjadi beban dalam hidup kita masing-masing. Tentunya, dibutuhkan usaha dasri masing-masing individu untuk berperan serta secara aktif untuk menjalankan hidup sesuai yang diharapkan. Setiap orang juga harus memiliki prinsip dalam hidup agar supaya dia dapat mengetahui apa sebenarnya makna dari hidup ini sehingga dia juga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk utnuk kelangsungan hidupnya nanti. Bayangkan orang yang tidak memiliki kejelasan dalam hidup. Orang bisa santai dalam tugasnya misalnya sebagai pengusaha tetapi dia harus tegas dalam prinsipnya karena itu sudah merupakan suatu pedoman yang digunakan dalam melaksanakan setiap kegiatan alam hidupnya. ada satu pepatah latin yang mengatakan “SUAVITER IN MODO, FORTITER IN RE” yang artinya santai dalam tugas, tegas dalam prinsip. Jadi, pada intinya setiap orang berhak atas hidupnya masing-masing tetapi dijalankan secara benar dan baik.

B. Rekomendasi

Hidup itu adalah sebuah anugerah ayng diberikan oleh Tuhan bagi setiap orang jadi jangan sia-siakna hidup ini. Semoga dengan tulisan ini dapat lebih memberikan pengetahuan kepada kita semua apa sebenarnya hidup tersebut dan bagaimana kita menggunakan hidup tersebut sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing. Setiap orang memaknai hdiupnya menurut apa yang dialami.

Penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat membawa pengaruh positif bagi banyak orang. Masa depan dan hidup tergantung dari masing-masing inividu. Jadi, gunakanlah kesemapatan dengan baik dan buatlah hidup ini berarti. Tidak ada salahya kalau kita baru memulai sekarang karena belum terlambat. Ada pepatah mengatakan “Saya dapat menerima kekalahan, tetapi saya tidak dapat menerima kalau saya tidak mencoba.”

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen:

· Konggregasi Pengajaran Iman. Instruksi Mengenai Kebebasan Dan Pembebasan Kristiani (Roma, 22 Maret 1986), Dokpen KWI.

· KWI. Kedamaian Dan Keluarga (Vatikan, 26 Desember 1993), Dokpen KWI (April, 1994).

· Komisi Kepausan Keadilan dan Perdamaian. Hak Asasi Manusia Dan Gereja (Roma, 14-16 November 1988), Dokpen KWI (Mei, 1997).

· Konggregasi Ajaran Iman. Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik (Roma, 24 November 2002), Dokpen KWI (Oktober 2003).

· Seri Dokumen Gereja. Keadilan Di Dalam Dunia (30 November 1971), Nusa Indah (1973).

· Seri Dokumen Gereja. Pacem In Terris (Ndona, 23 Desember 1966), Nusa Indah (Desember, 1966).

Buku:

· Boumans, Josef, SVD. Telaah Sosio-Pastoral Tentang Manusia. Cet ke-2. Jakarta: Celesty Heronika.

· Heuken, Adolf, SJ. Katekismus Konsili Vatikan II. Jilid I. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1987.

· Kieser B, DR, SJ. Solidaritas. Cet ke-1. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

· Kung, Hans. Etika Global. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

· Riyanto, Armada, CM. Dialog Agama. Cet ke-7. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

· Schultheis, Michael, DeBerri dan Peter Henriot. Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

· Yuantoro, Eka, F.A, MSF. Eutanasia. Cet ke-1. jakarta: Obor, 2005.

Artikel dalam Majalah:

· “8 Tips Bahagia”. Kuasa Doa. Vol 4, No. 6 (Maret, 2009)

· “Pius XII: Pidato-Pidato Radio.” Gita Sang Surya (1 Januari 2003)

Internet:

· NN, “Pidato Paus Pada Hari Perdamaian”. Diambil dari: www.waspada.com, 25 September 2010.




[1]Bdk. “Pesan Bapa Suci Yohanes Paulus II pada Hari Perdamaian Dunia” (1 Januari 2003), diambil dari: http: //www.waspada.co.id/opini/.

[2] Bdk. Peter C. Aman, “Pius XII: Pidato-pidato Radio,” Gita Sang Surya No.6 November-Desember 2008, hlm. 23.

[3] Ibid., hlm. 24.

[4] Kitab Kebijaksanaan, 17:16.

[5] Peter C. Aman, “Pius XII: Pidato-pidato Radio,” Gita Sang Surya No.6 November-Desember 2008, hlm. 25.

[6] Komisi Kepausan Keadilan dan Perdamaian, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Obor, 1997), hlm 9.

[7] Bdk. Eddy Kristyanto, Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII (Malang: Dioma, 2003), hlm. 81-82.

[8] John Cortney Murray menyebut Pacem In Terris sebagai resume tiga ensiklik sebelumnya: Rerum Novarum, Quadragessimo Anno, dan Mater et Magistra.

[9] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), hlm. 1.

[10] Bdk. Eddy Kristyanto, Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII (Malang: Dioma, 2003), hlm. 79-81.

[11] B. Kieser, Solidaritas (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 64-65.

[12] Lih. PopeS 9 (1963).

[13] Eddy Kristyanto, Diskursus Sosial Gereja Sejak Leo XIII (Malang: Dioma, 2003), hlm. 82-88.

[14] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 19, hlm. 9.

[15] Seri Dokumen Gereja, “Keadilan di Dalam Dunia” (1973), hlm. 15.

[16] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 20, hlm. 9.

[17] Bdk. Konsili Vatikan II, Kongregasi Mengenai Ajaran Iman “Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik” (24 November 2002), art.3, hlm. 9-10.

[18] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 27, hlm. 11.

[19] Bdk. Konsili Vatikan II, Kongregasi Mengenai Ajaran Iman “Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik” (24 November 2002), art.2, hlm. 8.

[20] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 12, hlm. 7.

[21] Bdk. Ibid., art 16, hlm 8.

[22] Konsili Vatikan II, Amanat Sri Paus Yohanes Paulus II “Kedamaian dan Keluarga”(April 1994), art.1, hlm. 8.

[23] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 14, hlm. 8.

[24] Ibid., art 14.

[25] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 29, hlm. 12.

[26] Bdk. Ibid., art 30.

[27] Josef Boumans, Telaah Sosio-Pastoral tentang Manusia (Jakarta: Celesty Hieronika, 2000), hlm. 160.

[28] Bdk. Armada Riyanto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius,1995), hlm.110.

[29] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 32, hlm. 13.

[30] Bdk. Ibid., art35, hlm 14.

[31] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 36, hlm. 14.

[32] Seri Dokumen Gereja, Sinode Uskup-uskup Sedunia: Keadilan Di Dalam Dunia (Flores: Arnoldus, 1973), hlm. 30.

[33] Michael, DeBerri, Peter, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 86.

[34] Ibid., hlm 88.

[35] Adolf Heuken, Katekismus Konsili Vatikan II (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1987), hlm 44.

[36] Bdk. Konsili Vatikan II, Kongregasi Mengenai Ajaran Iman “Instruksi Mengenai Kebebasan Dan Pembebasan Kristiani” (22 Maret 1986), art.2, hlm. 7.

[37] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 11, hlm. 7.

[38] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 67, hlm. 27-28.

[39] Bdk. Perutusan Murid-Murid Yesus, Pendidikan Agama Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 50.

[40] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 63-64, hlm. 25-26.

[41] Bdk. Ibid., art. 17, hlm 9.

[42] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 11, hlm. 7.

[43] Bdk. Ibid., art. 27, hlm. 11.

[44] Bdk. Ibid., art. 31, hlm. 12

[45] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 12, hlm. 7.

[46] Hans kung, Etika Global, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 21-23.

[47] Bdk. F.A Eka Yuantoro, Eutanasia, (Jakarta: Obor, 2005), hlm. xv.

[48] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 21, hlm.

[49] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Pendalaman Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 2-3.

[50] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 70, hlm. 29.

[51] Bdk. Ibid., art. 74, hlm. 30.

[52] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 75, hlm. 31.

[53] Bdk. Ibid., art. 10, hlm. 6.

[54] Bdk. Josef Boumans, Telaah Sosio Pastoral: Tentang Manusia, (Jakarta: Celesty Hieronika, 2000), hlm. 157-159.

[55] Bdk. Josef Boumans, Telaah Sosio Pastoral: Tentang Manusia, (Jakarta: Celesty Hieronika, 2000), hlm. 160-162.

[56] “8 Tips Bahagia”, Kuasa Doa (Vol 4, No. 6, Maret 2009), hlm. 76-78

[57] Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 5, hlm. 4.

[58] Bdk. Ibid., art 12, hlm. 7.

[59] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 40,41,42, hlm. 16-17.

[60] Bdk. Ibid., art. 7, hlm. 5.

[61] Bdk. H. Muladi, Hak-Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 229.

[62] Bdk. Ibid., hlm. 20.

[63] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art.11-21, hlm. 7-11.

[64] Bdk. Joanes XXIII, Pacem In Terris (Flores: Arnoldus, 1996), art. 164, hlm. 67.